Berbuat Baiklah Terhadap Tetangga Kita

 


Berbuat Baiklah Terhadap Tetangga Kita
Oleh Drs.H. Karsidi Diningrat M.Ag

ALLAH subhanahu wa taala telah berfirman, “Dan sembahlah Allah dan janganlah kamu mempersekutukan-Nya dengan sesuatu apa pun. Dan berbuat baiklah kepada kedua orang tua, karib-kerabat, anak-anak yatim, orang-orang miskin, tetangga dekat dan tetangga jauh, teman sejawat, ibnu sabil dan hamba sahaya yang kamu miliki. Sungguh, Allah tidak menyukai orang yang sombong dan membanggakan diri.” (QS. An-Nisâ, 4:36).

Salah satu pencerminan masyarakat yang saleh adalah berbuat baik kepada tetangga. Islam memberi perhatian yang sangat besar kepada masalah tetangga dan sangat menganjurkan untuk berbuat sebaik mungkin kepada mereka, baik itu tetangga Muslim maupun non-muslim. Sebuah masyarakat yang hidup bertetangga dengan baik tidak ubahnya seperti untaian kalung yang sambung menyambung, di mana masing-masing darinya memperkokoh yang lainnya.

Salah satu fenomena kehancuran Barat dan masyarakat-masyarakat yang mengikutinya adalah mereka sangat individualis dan tidak tolong menolong dengan tetangga. ÄŽalam masyarakat seperti ini, setiap keluarga terpencil dari keluarga yang lainnya. Tidak ada saling membantu, tidak ada saling mengunjungi, dan tidak ada kepekaan akan harapan dan kesulitan di antara mereka.

*Rasulullah* shalallahu alaihi wa sallam telah bersabda, “Hak tetangga itu ialah apabila ia sakit, engkau harus menjenguknya; apabila meninggal, engkau mengantar jenazahnya; apabila meminjam kepadamu, engkau memberinya pinjaman; apabila auratnya kelihatan engkau harus menutupkannya; apabila memperoleh kebaikan (rezeki) engkau berikan ucapan selamat kepadanya; apabila tertimpa musibah engkau belasungkawa terhadapnya; dan janganlah engkau meninggikan bangunan rumahmu lebih tinggi daripada bangunan rumahnya sehingga udara tidak dapat memasuki rumahnya, serta janganlah engkau menyakitinya dengan bau sedap masakan pancimu kecuali engkau mengirim sebagian darinya, untuk dia.” (HR. Thabrani).

Ada delapan perkara yang merupakan hak seorang tetangga, yaitu apabila sakit ditengok, apabila mati mengiringkan jenazahnya, apabila meminjam diberi pinjaman, apabila tidak punya pakaian diberi pakaian, apabila mendapat kebaikan diberi ucapan selamat, apabila tertimpa musibah ikut berbela sungkawa, dan tidak boleh meninggikan bangunan rumah di atas bangunannya bila hal itu dapat membuatnya terhalang dari udara yang segar, serta tidak boleh membuatnya iri dengan bau masakanmu yang lezat kecuali jika engkau berikan kepadanya sebagian dari masakanmu itu.

Rasulullah shalallahu alaihi wa sallam telah bersabda, “Apabila kalian menginginkan disayangi oleh Allah Swt. dan Rasul-Nya maka sampaikanlah amanat, dan jujurlah dalam berbicara, serta berbuat baiklah kepada orang yang menjadi tetangga kalian.” (HR. Thabrani).

Orang-orang yang dikasihi oleh Allah Swt. ialah mereka yang bila dipercaya menunaikan kepercayaannya, apabila berkata selalu jujur (tidak berdusta), serta berlaku baik terhadap para tetangganya.

*Rasulullah* shalallahu alaihi wa sallam telah bersabda, “Bukànlah orang yang benar-benar beriman seseorang yang kekenyangan sedangkan tetangga di sebelahnya kelaparan.” (HR. Bukhari).

Bukan termasuk mukmin yang sempurna bila seseorang hidup serba cukup, sedangkan tetangga yang ada di sebelahnya dibelit ol eh kelaparan dan kemiskinan.

*Rasulullah* shalallahu alaihi wa sallam telah bersabda, “Tidaklah beriman kepadaku seseorang yang semalam suntuk kekenyangan padahal tetangga yang ada di sampingnya merintih kelaparan sedangkan ia mengetahuinya.” (HR. al-Bazzar melalui Anas r.a.).

Hadits ini sama seperti hadits yang di atas yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari, namun dalam hadits ini ditambahkan wahuwa _Ya’lamu_ _bihi_ , sedangkan dia mengetahuinya. Dan dalam yang lain pun pada permulaannya disebutkan, “Orang yang benar-benar mukmin itu”, sedangkan dalam hadits ini disebutkan, “Belum dikatakan beriman kepadaku seseorang yang semalaman dalam keadaan perut kenyang .” Akan tetapi, sekali pun demikian subtantifnya sama.

*Rasulullah* shalallahu alaihi wa sallam telah bersabda, “Malaikat Jibril selalu berpesan kepadaku mengenai tetangga (berbuat baik terhadapnya), sehingga aku menduga bahwa tetangga dapat mewaris.” (HR. Syaikhan melalui Aisyah r.a.).

Hak tetangga itu amatlah besar, hingga Nabi Saw. menduga bahwa Malaikat Jibril akan menjadikannya salah seorang dari kalangan ahli waris. Demikian itu karena tetangga yang dekat adalah lebih dekat kedudukannya daripada saudara yang jauh tempat tinggalnya.

Rasulullah shalallahu alaihi wa sallam telah bersabda, “Barang siapa yang beriman kepada Allah dan hari kemudian, hendaknya ia berbuat baik terhadap tetangganya. Barang siapa beriman kepada Allah dan hari kemudian, hendaknya ia memuliakan tamunya. Barang siapa beriman kepada Allah dan hari kemudian, hendaknya ia mengatakan yang baik atau diam.” (HR. Syaikhan).

Orang yang benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian ialah orang yang berbuat baik terhadap tetangganya dan menghormati tamunya, serta sedikit bicara kecuali mengenai kebaikan. “Sungguh aib bagi seorang laki-laki manakala dia tidur sementara tetangganya lapar dan pakaiannya compang-camping”. (Khalifaur Rosidun).

Rasulullah shalallahu alaihi wa sallam telah bersabda, “Tidak sekali-kali seorang muslim memberi sebuah pakaian kepada muslim lainnya kecuali ia berada dalam pemeliharaan Allah Swt., selagi pakaian tersebut masih dipakainya.” (HR. Tirmidzi).

Barang siapa memberi pakaian kepada seorang muslim lainnya, maka ia berada dalam pemeliharaan Allah Swt. selama pakaian itu masih dipakainya. Hadits ini menganjurkan kepada kita agar memberi pakaian kepada saudara-saudara kita yang tidak mampu membeli pakaian.

*Rasulullah* shalallahu alaihi wa sallam telah bersabda, “Apabila seseorang di antara kalian melihat cobaan yang menimpa saudaranya, hendaknya memuji Allah (karena ia tidak tertimpa musibah serupa itu), dan janganlah memperdengarkan pujiannya itu !(kepadanya).” (HR. Ibnu Najjar melalui Jabir r.a.).

Disunahkan memuji kepada Allah Swt. dengan membaca hamdalah sewaktu ia melihat saudaranya tertimpa musibah, tetapi dengan syarat tidak memperdengarkan kata pujiannya itu kepadanya, dan hendaknya hanya terdengar untuk dirinya sendiri. Apabila kita melakukan hal yang demikian, niscaya kita tidak akan tertimpa musibah yang serupa. Wallahu A’lam bish Shawabi.

0 Comments:

Post a Comment